Oleh : Riza Prasetyo
Awal tahun 2018 rupanya menjadi catatan hitam bagi kebhinekaan Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kejadian yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, yaitu peristiwa intoleransi khususnya dalam beragama. Peristiwa intoleransi ini nampaknya makin hari makin mejadi-jadi saja. Jika peristiwa ini terus berulang dan berkembang, maka akan sangat nyata membawa bangsa ini menuju perpecahan.
Intoleransi beragama merupakan suatu kondisi di mana suatu kelompok (masyarakat, agama atau non-agama, kepercayaan) yang spesifik menolak untuk menoleransi kelompok lain yang berbeda dalam melakukan praktik-praktik keagamaan atau kepercayaannya. Intoleransi beragama muncul dan berkembang umumnya sebagai akibat dari minimnya komunikasi dan interaksi antarkelompok beragama. Minimnya komunikasi dan interaksi inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan-kecurigaan antarkedua belah pihak yang tak jarang menimbulkan gesekan-gesekan sosial.
Ada begitu banyak peristiwa intoleransi yang terjadi belakangan ini, namun hanya beberapa peristiwa yang mencuat ke publik. Penulis mengamati ada tiga peristiwa intoleransi beragama yang terjadi belum lama ini. Ketiga peristiwa tersebut jika diurut dari waktu kejadiannya yaitu aksi sosial gereja yang dituduh sebagai upaya kristenisasi di Kabupaten Bantul, Minggu (28/1/2018), biksu yang dilarang beribadah di Tangerang, Rabu (7/2/2018), dan penyerangan brutal di acara peribadatan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, DIY, Minggu (11/2/2018).
Jika ditelisik lebih dalam terhadap setiap peristiwa yang terjadi, maka akan ditemukan kenyataan bahwa setiap peristiwa selalu mengarah pada satu hal yang sama yaitu sentimen keagamaan yang diwarnai dengan kecurigaan-kecurigaan. Sentimen keagamaan ini terbentuk sebagai kerak yang telah cukup lama ada di tubuh masyarakat, tidak ada lagi upaya gotong royong menghilangkannya. Dirasa hal itu sangat perlu untuk kembali membangun suatu komunikasi dan interaksi sebagai upaya gotong royong antarumat beragama membersihkan kerak, sehingga terciptanya keterbukaan dan keharmonisan.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan dengan intoleransi khususnya dalam beragama tidak boleh dianggap sebagai angin lalu. Kita sebagai Bangsa Indonesia harus selalu mawas diri bahwa bangsa ini bukanlah bangsa yang homogen, tapi heterogen. Apalagi sebagai umat yang “katanya” beragama, seyogyanya mengamalkan ajaran agama masing-masing tanpa harus saling mencurigai. Selama pasal 28E ayat (2) UUD 1945 masih menjadi dasar hukum dan bukan merupakan bait puisi semata, kebebasan beragama akan terus menjadi hak kita semua.
Referensi :